Pemerintah
melalui kementrian pendidikan dan kebudayaan akhirnya memutuskan untuk
meniadakan ujian tertulis bagi semua lulusan SMA/SMK sederajat untuk
memperebutkan satu kursi di perguruan tinggi negeri. Sebagai pengganti, kementrian pendidikan
dan kebudayaan menghapus metode yang selama ini telah umum digunakan melalui seleksi
nasional tersendiri, dengan metode baru yaitu dengan
mempertimbangkan nilai rapor siswa dan nilai ujian akhir nasional siswa yang bersangkutan.
Dasar apa yang digunakan pemerintah dalam menetapkan prosedur baru ini?
Bagaimana efektivitas kebijakan ini jika dibandingkan dengan SNMPTN yang selama
ini diterapkan. Bukankah
selama ini perguruan tinggi telah menyediakan jalur undangan bagi siswa
tertentu yang dianggap “lebih pintar” untuk dapat diterima langsung di perguruan tinggi. Padahal,
selama ini mahasiswa jalur undangan tidak lebih hebat dari mahasiswa yang lulus
seleksi nasional dari puluhan hingga ratusan ribu orang, bertentangan dengan
bekal yang mereka bawah ketika mendaftarkan diri ke perguruan tinggi . Bukankah kebijakan yang diambil pemerintah
ini justru menambah
celah untuk terus “mengerus”
kualitas pendidikan itu sendiri.
Kenapa begitu? Bisakah pemerintah menjamin tidak ada konspirasi antara guru dengan murid atau
dengan wali murid dalam pengaturan nilai rapor. Setiap sekolah tentu akan
memanfaatkan kebijakan ini untuk meningkatkan prestise mereka, sehingga celah ini bisa dijadikan nilai jual oleh
sekolah dalam menarik siswa di setiap
tahun ajaran baru. Sekolah-sekolah tersebut akan berlomba-lomba untuk
memberikan nilai terbaik terhadap siswa mereka agar banyak siswa yang berasal
dari sekolah bersangkutan diterima di perguruan tinggi ternama. Dengan cara
ini, diharapkan penilaian masyarakat
bisa berubah dan berbeda terhadap sekolah tersebut karena masyarakat diarahkan
untuk berfikiran sekolah yang bersangkutan memiliki banyak alumni yang melanjutkan
pendidikan mereka ke perguruan tinggi ternama, padahal secara real, kualitasnya
tidak teruji. Ini berarti nantinya, penilaian terhadap rapor siswa akan jauh dari objective. Apalagi belum ada penyeragaman indikator-indikator yang
ditetapkan pemerintah terhadap guru dalam pemberian nilai kepada siswa di
seluruh indonesia baik di daerah perkotaan maupun di daerah terpencil dan jauh
dari akses pendidikan.
Disisi lain, perguruan tinggipun bisa memainkan peran
dalam merekrut calon mahasiswa baru. Demi sebuah pamor, perguruan tinggi tentu
akan cenderung untuk memilih siswa yang berasal dari sekolah-sekolah ternama
dan akan mengesampingkan mereka yang berasal dari sekolah-sekolah “gurem”.
Selain nilai rapor, salah satu pertimbangan lain dalam
penerimaan mahasiswa baru adalah nilai ujian akhir nasional. Bagaimana kualitas
ujian nasional kita? Kecurangan-kecurangan selalu menyelimuti pelaksanaan ujian
akhir nasional setiap tahunnya. Ada yang bersifat individu, namun sering juga
bersifat kolektif dan terencana. Kecurangan itu tidak hanya dilakukan oleh
siswa, tetapi juga sering melibatkan guru dan sekolah bersangkutan demi satu
tujuan, tingkat kelulusan siswa yang setinggi-tingginya kalau perlu hingga 100
persen, tentu saja dengan dasar dan pertimbangan untuk tetap menjaga nama baik
sekolah bersangkutan. Bahkan dari pengalaman pribadi penulis, beberapa oknum
guru secara tersembunyi dan ada juga yang terang-terangan di tempat terbuka
dengan pengeras suara meminta kepada siswanya untuk saling membantu dalam
menjawab soal ujian akhir nasional.
Contoh lain kecurangan dalam pelaksanaan ujian akhir
nasional yang sering kali kita saksikan di media massa ialah iuran-iuran oleh
siswa yang kadangkala mencapai nilai jutaan dikumpulkan untuk “membeli” kunci
jawaban ujian akhir kepada calo-calo yang nantinya akan didistribusi dan
dibagikan melalui telepon seluler maupun kertas-kertas kecil kepada setiap
siswa sebelum pelaksanaan ujian berlangsung. Inilah beberapa modus yang
digunakan dalam mengakali ujian akhir nasional disamping banyak cara lain yang
juga sering terbongkar.
Apakah dengan dasar seperti ini yang akan dijadikan
landasan dalam penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri. Pertanyaannya,
akan dikemanakan masa depan pendidikan indonesia yang saat ini sudah terpuruk.
Haruskah kita terus menerus terperosok ke dalam lubang yang semangkin dalam
atau kita harus bangkit dari kubangan ini? SNMPTN atau seleksi langsung secara
nasional mungkin bukan yang terbaik, tetapi jauh lebih baik jika dibandingkan
dengan metode nilai rapor apalagi nilai ujian akhir nasional dalam seleksi
penerimaan mahasiswa baru. Bukan hanya bobot soal yang jauh lebih berkualitas
dibandingkan dengan ujian akhir nasional, namun kecurangan yang ditimbulkan
juga jauh lebih minimal sehingga objektivitas penerimaan mahasiswa baru juga
lebih baik.
Jaya dan gilang-gemilanglah Indonesiaku.
PERIKO PUTRA PATAPANG
0 comments:
Post a Comment